KPAI: Siswa Dikirim ke Barak Hanya Berdasarkan Rekomendasi Guru BK

KPAI: Siswa – Kabar mengejutkan datang dari dunia pendidikan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap bahwa sejumlah siswa dikirim ke barak pelatihan ala militer hanya berdasarkan rekomendasi guru Bimbingan Konseling (BK). Tanpa proses psikologis yang layak, tanpa konsultasi dengan orang tua secara menyeluruh, dan bahkan tanpa mekanisme pengawasan, para siswa ini dikirim ke tempat yang sejatinya bukan bagian dari institusi pendidikan formal.

Di tengah gembar-gembor transformasi pendidikan dan penguatan karakter, keputusan semacam ini justru seperti melompati akal sehat. Guru BK yang seharusnya menjadi tempat siswa mendapatkan perlindungan dan arahan, kini berubah menjadi “penentu hukuman” yang bisa menetapkan siswa di anggap “bermasalah” hanya berdasarkan penilaian sepihak.

Barak Latihan Militer: Solusi atau Ancaman Psikologis?

KPAI tidak tinggal diam. Mereka menelusuri sejumlah laporan dari orang tua dan siswa yang merasa trauma setelah mengikuti pelatihan di barak-barak tersebut. Dalam banyak kasus, siswa di tempatkan di lingkungan yang jauh dari rumah, tidak didampingi profesional psikologi anak, dan di perlakukan layaknya rekrutan militer. Ada yang di paksa bangun dini hari, mengikuti push-up berulang kali sebagai hukuman, hingga di marahi dengan cara yang tak pantas oleh pelatih yang bukan dari kalangan pendidik.

Sungguh ironis. Di era di mana pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, kita malah kembali ke pendekatan “keras agar kapok”. Jika ini tidak di awasi, jangan heran jika kita mulai melihat angka kekerasan terhadap anak meningkat, dengan dalih “demi mendisiplinkan”.

Peran Guru BK yang Di pertanyakan

Guru BK tentu memegang peran penting dalam membimbing siswa, terutama mereka yang mengalami kesulitan akademik maupun sosial. Tapi ketika otoritasnya menjangkau titik ekstrem — bisa merekomendasikan pengiriman siswa ke barak tanpa pertimbangan menyeluruh — maka ada sistem yang perlu di kritik keras.

KPAI menyoroti minimnya standar operasional dan prosedur tetap (SOP) dalam tindakan semacam ini. Apakah guru BK melakukan asesmen mendalam? Apakah hasil asesmen melibatkan psikolog profesional? Apakah orang tua di beri informasi menyeluruh sebelum keputusan di buat? Nyatanya, dalam banyak kasus, jawaban dari semua pertanyaan itu adalah: bonus new member.

Suara Orang Tua dan Siswa yang Tak Didengar

Sejumlah orang tua mengaku kaget saat anak mereka tiba-tiba harus mengikuti pelatihan “karakter” di barak. Mereka tidak di beri waktu untuk berdiskusi, hanya di kabari lewat surat sekolah bahwa anak mereka perlu ikut pelatihan sebagai bentuk “penguatan mental dan kedisiplinan”.

Sementara itu, para siswa yang sudah mengikuti pelatihan menggambarkan pengalaman yang jauh dari kata membangun. Beberapa mengaku di hina, di paksa beraktivitas fisik berat, hingga di tuduh memiliki gangguan perilaku hanya karena melawan athena168. Tak sedikit yang pulang dengan beban mental, rasa rendah diri, bahkan keengganan kembali ke sekolah.

“Baru saja aku mulai terbuka ke guru, eh malah di kirim ke tempat kayak gitu. Rasanya kayak di hukum karena jujur,” ujar salah satu siswa korban, yang namanya di rahasiakan oleh KPAI.

Pendidikan yang Memukul Atas Nama Kedisiplinan

Fenomena ini memperlihatkan wajah lain dari sistem pendidikan yang kadang terlalu ingin instan. Menghadapi siswa yang sulit di atur atau di anggap menyimpang, solusi tercepat adalah “di kirim ke tempat binaan”. Tapi solusi semacam ini tidak melihat akar masalah: trauma di rumah, tekanan akademik, hingga masalah identitas yang lazim di alami remaja.

Barak bukanlah ruang terapi. Barak bukan tempat penyembuhan emosi. Dan barak bukan jawaban untuk anak-anak yang butuh pemahaman. Ketika pendidikan tidak lagi menyentuh hati dan malah menjadi alat pemaksa, kita patut bertanya: siapa sebenarnya slot terbaru yang harus di bina?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *